2 Mei 1996, terlahir seorang perempuan di rumah seorang bidan di daerah
Tulangan yang biasa dipanggil dengan Bu Nunik. 2 hari sebelumnya, seorang
laki-laki tinggi kurus meminta istrinya untuk segera ke Bu Nunik untuk check
up ketika akan melahirkan. Dalam wajahnya yang memiliki kumis dan hidung
mancung tersebut terlihat raut kekhawatirannya. Tidak tahu harus berbuat apa,
akhirnya beliau meminjam sepeda motor milik saudaranya untuk mengantar sang
istri menuju persalinan. 10 menit kemudian sampailah beliau dengan istrinya
dalam rumah Bu Nunik. Menunggu hingga hampir 2 hari lamanya akhirnya hari
kamis, 2 Mei 1996 pukul 04.30 WIB terdengar suara jeritan kesakitan seorang ibu
yang kemudian disusul oleh tangisan keras seorang bayi perempuan. Wajah pertama
yang terlihat oleh bayi adalah tangisan seorang yang tulus hatinya mengandung
selama hampir 9 bulan. Yang kemudian memeluk bayi itu dengan erat. Ya, itulah
ibuku, namanya ibu Siyami. Kemudian ada laki-laki tinggi kurus masuk dan menggendongku,
itulah ayah terhebatku, ayah Sumali.
Beberapa jam setelah persalinan, ayah dan ibu menggendongku untuk pulang
ke rumah. Sesuai adat, aku pun digendong oleh pemuka agama di sekitar rumahku
dan diberikan nama yaitu Nur Intan Rizqi. Kemudian uang logam bertebaran di
halaman untuk dibagikan kepada warga sekitar rumah dan dilanjutkan dengan
pembacaan doa untukku dan pembagian makanan. Tentang nama itu, terjadi
perdebatan kecil antara ibu dengan ayah. Ibu menginginkan nama Intan Nur Rizqi
sedangkan ayah menginginkan nama Nur Intan Rizqi, tetapi pada akhirnya usulan
dari ayahlah yang dapat diterima oleh keduanya. Tentunya dengan nama yang
diberikan tersebut, ayah dan ibu berharap anaknya menjadi anak yang berharga,
kuat, kokoh dan bersinar layaknya sebuah intan berlian dengan selalu bersyukur
atas semua rizqi yang diberikan oleh Allah.
Masa-masa bayi adalah masa yang bahagia, karena selalu ada ayah dan ibu
yang merawat dan menjadi saksi atas pertumbuhan dan perkembanganku. Mungkin
terlihat sedikit berkebalikan dengan masyarakat pada umumnya, ibuku merupakan
seorang pegawai di pabrik gula sedangkan ayahku adalah seorang buruh bangunan
dan pekerja sawah yang tidak selalu ada setiap hari pekerjaannya dan juga
anggota dari partai politik. Jadi bisa dibilang yang lebih sering merawatku
adalah ayah sehingga aku pun tidak mau ketinggalan kemanapun ayah pergi.
Ayah selalu menjadi saksi tumbuh kembangku, beliau yang menguncir
rambutku, memandikan aku, memberi bedak yang tebal agar aku terlihat segar
setelah mandi. Menurutku, ayah mempunyai kelebihan dalam kepribadiannya. Beliau
bisa menjadi ibu ketika ibuku sedang bekerja juga beliau juga menjadi seorang
ayah yang bertanggung jawab untuk menafkahi keluarganya.
Intan yang saat itu masih bayi kemudian berkembang menjadi Intan yang
berusia 4 tahun dan siap untuk masuk Taman Kanak-kanak. Awal pertama masuk di
TK, aku dititipkan oleh ayah dan ibuku kepada tetanggaku yang juga masih ada
hubungan saudara. Anaknya hampir seumuran denganku, hanya saja beda dalam bulan
kelahiran. Namanya Eny, sejak saat itu dialah teman pertamaku di TK. Ayah dan
ibu menitipkan aku karena mereka berdua sedang ada pekerjaan. Oleh karenanya,
hari pertama sekolah di TK merupakan hari yang kurang menyenangkan karena tidak
ditemani oleh orang tua.
Saat itu, hari pertama sekolah di TK, aku duduk di bangku kecil paling
belakang dengan berseragam berwarna biru. Ada kejadian lucu saat itu. Aku yang
mendengarkan teman-teman memperkenalkan diri di depan kelas tiba-tiba ingin
buang air kecil. Karena merupakan hari pertama di kelas jadi aku masih takut
untuk berkenalan dengan teman maupun berbicara dengan guru kelas. Akhirnya
dengan wajah menahan, aku pun buang air kecil di dalam kelas tersebut. Sontak
semua teman baruku mencium bau yang tidak enak dan kemudian melihatku dengan
menutup hidung mereka masing-masing. Aku kebingungan, tanpa pikir panjang air
mataku keluar dan aku menangis tersedu-sedu sambil diantar oleh guruku ke kamar
mandi.
Semenjak saat itu, aku dikenal sebagi anak yang cengeng. Namun cengengku
ini bukan seperti temanku yang lain ketika tidak dibelikan mainan maka dia akan
menangis. Cengengku ini yakni ketika aku tidak mendapatkan nilai baik di kelas
dan ketika mendapatkan nilai yang jelek di kelas. Mungkin hal ini karena ada
tekanan dari orang tua, aku dituntut untuk mendapatkan nilai bagus setiap hari.
Hampir 2 tahun lamanya aku belajar di TK, tepatnya TK Dharma Wanita
Singopadu. Selama itu juga aku jarang diantar oleh ibu dan ayahku ketika
berangkat sekolah. Sangat jarang sekali. Suatu ketika, ayah pinjam sepeda dari
bu lek untuk menjemputku pulang sekolah. Saat itu ayah menungguku di seberang
jalan raya dan aku baru keluar dari kelas kemudian menuju seberang jalan untuk
menemui ayah. Dengan lambaian tangan dan senyumannya ayah memanggilku dengan
tetap menaiki sepeda. Aku berlari kegirangan karena memang di rumah kami tidak
mempunyai sepeda dan ayah menmyempatkan diri untuk meminjam sepeda untuk
menjemputku. Karena saking senangnya aku menyeberang jalan tanpa menoleh
kanan-kiri, tiba-tiba braakkkkk!!!. Aku tidak sadarkan diri, entah dibawa
kemanakah aku ini. Aku mendengar suara tangisan ibuku, tapi aku tidak bisa
melihat dengan jelas apa yang telah aku alami. Ada darah di wajahku, dan itu
sangat perih.
Beberapa hari kemudian aku berada dalam kamar sendirian. Tiba-tiba datang
2 orang laki-laki.
“Assalamualaikum...”
“Waalaikumsalam.... maaf siapa ya?” tanya ayahku.
“Saya yang menabrak putri bapak kemarin di TK itu loh pak.”
“Oh iya saya ingat pak, silahkan masuk pak.”
Keduanya saling diam, kemudian ibuku menyusul ke ruang tamu dengan
membawa teh untuk disajikan. Aku pun ikut ke ruang tamu.
“Saya mohon maaf pak atas kecelakaan itu, kami benar-benar tidak
sengaja.”
“Oh itu, tidak apa-apa pak. Anak saya juga baik-baik saja kok sekarang.
Itu juga bukan kesalahan bapak semuanya. Anak saya juga tidak menoleh
kanan-kiri dan saya juga tidak menyeberangkan anak saya.” Jawab ayah dengan
santai.
“Iya pak. Ini ada sedikit bantuan atas permintaan maaf kami.”
Orang itu memberikan aku sebuah boneka donald duck dan beberapa
lembar uang. Dan ayah juga ibuku menerimanya sehingga terjadi perdamaian antar
keduanya.
Beberapa hari kemuadian aku ada foto untuk raport dan ijazah TK.
Sebenarnya kondisiku masih belum pulih benar. Namun dukungan ayah membuatku
untuk semangat dalam belajar. Pagi hari ayah membangunkanku dan mendandaniku
agar anaknya terlihat cantik di ijazah nanti. Dengan bekas luka yang lebar di
bawah pelipis mata ayah dengan sabar mendandaniku. Rambutku dikuncir dua
sebelah kanan dan kiri dan diberi pita yang berbeda warna pula. Sebelah kanan
pita berwarna hijau dan sebelah kiri pita berwarna merah. Terlihat aneh memang,
tapi itulah yang membuatku menjadi semangat.
Dengan diterimanya ijazah dengan foto unik itu, aku didaftarkan oleh
ayahku di SD dekat dengan rumah. SDN Singopadu namanya. 6 tahun akan kulalui
jenjang pendidikan formal dasar di sekolah tersebut. Sama halnya dengan di TK,
ayah dan ibuku jarang sekali, bahkan hampir tidak pernah mengantarku ke
sekolah. Aku mulai berpikir, apakah mereka tidak memperdulikan sekolahku? Tapi
lambat laun aku mulai sadar bahwa mereka tidak mengantarku karena mereka
bekerja dan hasil dari pekerjaan itu untuk sekolahku dan kehidupan keluargaku
sehari-hari. Semangat kesadaran itulah yang membuatku dapat mendapat peringkat
3 besar di dalam kelas dari mulai kelas 1 SD sampai dengan kelas 6 SD.
Awal masuk kelas 1 SD, wali kelasku namanya Bu Rid menyuruhku untuk maju
ke depan dan membaca kalimat yang ada di papan tulis.
“Intan...ayo ke depan! Baca tulisan di papan itu!”. Dengan langkah pasti
aku maju ke depan.
“A-ni mem-ba-ca bu-ku ma-te-ma-ti-ka”
“loh sudah lancar membaca! Di rumah diajari sama siapa?”
“Diajari sama ayah bu.”
Memang, ayah lah yang mengajariku tentang pembelajaran di SD. Mungkin ini
karena faktor jenjang pendidikan yang ditempuh oleh ayahku juga. Ayahku lulusan
dari SMA yang pada saat itu di mata orang merupakan lulusan yang cukup tinggi.
Sedangkan ibuku hanya lulusan SD dan tidak bisa meneruskan ke jenjang SMP
karena harus bekerja.
Kemanapun ayah pergi, aku selalu berada di sampingnya. Bahkan orang
sekitar rumah bilang kalau aku terikat sama ayah. Banyak kenangan yang kulalui
bersama ayah. Pernah saat itu, ayah bertengkar dengan ibu karena suatu hal. Aku
yang masih duduk di bangku SD hanya bisa mendengar. Tetapi kemudian
pertengkaran itu semakin keras, dan aku pun menjerit karena ketakutan. Dengan
belaiannya, ayah menggendongku dan bilang bahwa semuanya baik-baik saja. Ibuku
menangis kemudian ayahku menemui ibuku dan meminta maaf sambil menggendongku.
Hingga akhirnya saat aku mulai menginjak kelas 3 SD. Saat itu ayah mulai
sakit-sakitan. Awal mulanya, ketika ayah sedang bekerja di sawah tiba-tiba ayah
mengalami mimisan. Hal itu dianggap biasa oleh ayah, pikirnya itu hanya mimisan
karena terlalu capek dan kepanasan saat di sawah. Tetapi beberapa bulan
kemudian darah itu keluar terus menerus. Tidak hanya melalui hidung, tetapi
juga melalui tenggorokan.
Dengan bantuan saudara-saudaranya, ayah diantar ke rumah sakit untuk
melakukan pemeriksaan. Ternyata hasilnya, ayah menderita kanker THT (telinga,
hidung, tenggorokan). Entah sudah sampai seganas apakah kanker itu menyerang
ayah. Yang aku tahu, hampir setiap hari ayah mimisan dan muntah darah.
Hampir setiap minggu, aku dan ibuku diajak ayah untuk periksa keadaannya
di dokter THT dekat Ramayana. Ibuku yang takut dengan bau medis memilih untuk
menunggu di luar dengaku. Namun, sepertinya kanker itu sudah menyebar luas di
tubuh ayah. Hingga akhirnya dokter itu memberi rujukan kepada ayah dan keluargaku
untuk berobat di rumah sakit Dr. Soetomo Surabaya yang lebih kita kenal dengan
rumah sakit Karamenjangan.
Aku tidak diperbolehkan untuk ikut di rumah sakit karamenjangan tersebut.
Ayah dan ibuku menitipkanku di rumah bu lek. Dan untuk kesekian kalinya, aku
merasa jauh dari orang tua lagi. Di rumah sakit tersebut, untuk pengobatan ayah
harus dilakukan kemotheraphy. Tapi entah kenapa pada saat itu rumah
sakit karamenjangan tersebut sedang tidak menerima pasien untuk kemotheraphy.
Keluargaku pun bingung harus melakukan apa. Kemudian ada rekomendasi untuk
melakukan kemotheraphy di rumah sakit Dr. Karyadi Semarang. Keluargaku
pun berunding tentang rekomendasi tersebut, dan hasil keputusannya ayah akan
dibawa ke Semarang untuk di kemotheraphy.
Hari keberangkatan ayah menuju Semarang pun tiba, aku menangis. Karena sama
seperti sebelumnya, aku jauh dari orang tuaku lagi. Ibuku pun ikut dengan ayah
ke Semarang dan aku dititipkan lagi di rumah bu lek ku. Kali ini cukup lama
ayah dan ibuku meninggalkanku sendirian, 1 bulan waktu untuk menjalani kemotheraphy.
Entah kenapa setiap pagi aku menangis. Aku merasa tidak nyaman dengan
kondisi seperti itu. Aku ingin tinggal serumah lagi dengan ayah dan ibu. Aku
ingin selalu dengan ayah ketika kemanapun ayah melangkah pergi. Setiap kali
ayah dan ibu menelepon, rasanya tidak ingin mendengarkan kepadanya suara
tangisanku, tapi aku tidak bisa. Ayah tau ketika aku menangis, ayah tau ketika
aku sedang senang. Tapi ketika berada dalam telepon, suara tangisan itu selalu
terdengar oleh ayah. Apalagi ketika ayah bertanya dengan suara terbatah-batah,
“Intan betah kan disana? Ayah kangen sama intan. Doakan ayah cepat sembuh
ya nak...” mendengar hal itu ingin ku teriakkan,
“Ayah, intan ingin ayah sama ibu pulang. Intan ingin ayah sama ibu disini,
intan gak mau lagi ditinggal. Aku kangen sama ayah. Kangen sekali. Pasti ayah,
Intan pasti doakan ayah cepat sembuh.”
Tapi aku hanya mengatakan,
“iya ayah, ayah baik-baik ya disana. Intan juga kangen ayah. Tenang ayah,
ayah pasti sembuh.”
Sampai suatu hari, liburan sekolah pun tiba. Aku diajak keluargaku untuk
pergi ke Semarang untuk menjenguk ayah. Perjalanannya sangat jauh, hampir
seharian kita di jalan. Kemudian sampailah kami di tempat kos yang ditempati
oleh ayah. Ayah tinggal hanya seukuran 2 x 3 meter saja. Dan di tempat kos itu
merupakan tempat orang-orang yang hampir sama dengan ayah, mereka sedang
menjalani kemotheraphy. Ternyata masih banyak orang-orang yang seperti
ayah, bahkan lebih parah dari ayah. Mungkin karena itulah ketika aku datang
ayah terlihat sangat tegar. Wajahnya menghitam, mungkin karena efek dari
paparan sinar dari kemotheraphy. Tubuhnya masih kurus dan tinggi. Aku
tidak tega melihatnya, tapi ayah memelukku erat ketika aku datang. Di kos yang
hanya sepetak itu ayah tidur siang dengan kutemani disampingnya. Setelah itu,
ayah sudah ada jadwal untuk ke rumah sakit. Aku ingin ikut, tapi tidak
diperbolehkan.
Tidak sampai satu hari penuh aku berada di kos itu. Maklumlah, aku dan
keluargaku harus tidur dimana jika harus bermalam disitu. Akhirnya kami
memutuskan untuk pulang. Aku berpamitan kepada ayah dan ibu, mereka memelukku.
Ingin rasanya aku tidak melepaskan dan tetap berada dalam kos itu. Tapi itu
tidak mungkin. Aku harus kembali ke rumah bu lek dan melanjutkan sekolahku.
Hampir 1 bulan sudah ayah dan ibu berada di Semarang. Mereka akan pulang
dalam beberapa hari lagi. Wajah sumringahku mulai terlihat. Aku akan serumah
lagi dengan ayah dan ibu. Sampai akhirnya hari kepulangan itu tiba, ibu membawa
tas yang cukup besar dengan wajah yang penuh senyum namun terlihat kecapekan.
Ayah juga datang dengan wajah senyum yang mengisyaratkan bahwa beliau sudah
sehat dan sembuh total.
Setelah beradanya ayah di dalam rumah, kami pun sering berpergian untuk
liburan. Yang paling berkesan yaitu ketika malam tahun baru. Sebenarnya ayah
disuruh untuk istirahat total setelah kemotheraphy tersebut. Tapi ayah
membangkang. Aku yang duduk di bangku kelas 5 SD saat itu belum paham tentang
hal itu. Malam itu, aku diajak oleh ayah dan ibu untuk pergi GOR Sidoarjo.
Disana ada perayaan tahun baru yang memang setiap pergantian tahun selalu ada.
Dengan duduk di atas sepeda motor ibu menggendongku, ayah berada di depanku.
Ketika kembang api mulai bermunculan, ayah menciumku dan berkata,
“Nanti jangan jadi anak yang nakal ya....”
Aku hanya bisa terdiam dan melihat kembang api yang bermunculan satu
persatu. Tidak tahu harus berkata apa, sepertinya aku ingin menangis saat itu.
Beberapa bulan kemudian, penyakit ganas itu mulai menyerang ayah.
Ternyata penyakit itu tidak hilang betul sampai akarnya. Penyakit itu tumbuh,
menyerang, dan mulai menggerogoti tubuh kurus tinggi ayah. Mimisan dan darah
yang keluar dari tenggorokan itu mulai muncul lagi. Ayah terlihat pucat pasi,
tubuhnya lunglai. Kami kehabisan uang untuk menjalani pengobatan ayah di rumah
sakit karamenjangan. Ayah pun juga tidak mau lagi dibawa ke rumah sakit. Beliau
memilih untuk berobat di rumah dan mendatangkan dokter untuk ke rumah.
Semakin minggu ke minggu, kanker itu tidak mengenal tubuh seseorang.
Kanker itu terus menggerogoti ayah hingga ayah tidak bisa untuk bangun lagi.
Hanya tidur di kamar, untuk buang air besar harus dengan bantuan orang. Begitu
juga dengan buang air kecil, ayah menggunakan selang dan ada kantong tempat untuk
air seninya. Benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa. Ayah tidak berbicara,
tidak merasakan jika ingin buang air besar ataupun kecil, harus disuap ketika
akan makan, dan harus di infus juga untuk menambah suplai makanannya.
Bahkan ayah juga tidak bisa berbicara denganku lagi. Aku takut, setiap
sholat yang kudirikan selalu ada doa untuk kesembuhan ayah. Dokter yang
menanganinya pun tidak tahu lagi harus berbuat apa. Seakan-akan yang bisa
bergerak hanya kelopak matanya yang tertutup ketika tertidur dan terbuka ketika
terbangun.
2 Mei 2007, 11 tahun sudah umurku. Aku berbisik di telinga ayah,
“Ayah, hari ini aku ulang tahun. Ayah tidak mau mengucapkan selamat ulang
tahun kepadaku? Ayo ayah, ayah pasti sembuh. Intan berdoa di umur 11 tahun ini
ayah bisa sembuh dan main-main lagi denganku ayah.”
2 hari kemudian, 4 Mei 2007. Saat itu hari jum’at dan merupakan jadwalku
untuk pergi ke sekolah mengikuti ekstrakurikuler pramuka. Tetapi ibu ku
menyuruh untuk tidak berangkat dan berada di rumah saja. Saat itu merupakan
saat dimana orang laki-laki untuk berangkat shalat jum’at. Kakakku tidak ikut,
dia berada di samping ayah.
Entah mengapa, tiba-tiba bu lek menyuruhku untuk berganti pakaian dan
membacakan surah Yasiin untuk ayah. Perintah itu kuturuti, setelah berganti pakaian
aku duduk di bawah dan membacakan surah Yasiin. Baru mendapatkan 3 ayat
tiba-tiba kakakku memanggil bu lek,
“Lek...... ayah sudah tidak ada.”
“Innalillahi.........” bu lek ku berteriak memanggil ibu.
“mbak, mas sudah meninggal.”
Ibuku menangis histeris. Beliau hanya tersungkur duduk lemas dengan
menjerit memanggil nama ayah. Kemudian aku yang saat itu terkejut menagis
histeris,
“Ayaaaaah.....”
“Ayah jangan tinggalkan Intan ayah, siapa nanti yang menguncir rambutku?
Siapa nanti yang mengajariku? Siapa yang merawatku?”
Hanya tangisan yang keluar, tubuh ayah sudah terbujur kaku. Dan untuk
selamanya, aku ditinggal oleh ayahku. Bukan untuk beberapa hari atau beberapa
bulan, tetapi selamanya. Tidak akan ada sama sekali laki-laki bertubuh kurus
tinggi yang akan menjemputku dari sekolah. Tidak ada lagi ayah yang juga
menjadi sosok ibu bagiku. Yang memberikan pita berbeda warna pada kuncir
rambutku.
Selamanya, ayah tetap akan menjadi laki-laki nomer satu dalam hidupku.
Laki-laki yang hisa menjadi sosok ibu juga. Laki-laki yang membuatku mengerti
akan kasih sayang seorang ayah. Dan semenjak itu, aku akan rindu dengan belai
kasih sayang seorang ayah. Rindu dengan selau berada di sampingnya, rindu
dengan pembelaan beliau terhadapku ketika dimarahi oleh ibu.
Ayah, sekarang aku sudah tumbuh dewasa. Terimakasih atas pembelajaran
kehidupan yang pernah ayah berikan. Meskipun hanya 11 tahun. Terimakasih atas
perhatian, kasih sayang, dan pembelaan terhadapku meskipun aku terkadang nakal.
Meskipun aku terkadang rindu dengan ayah, tapi aku hanya bisa memberikan
sepatah doa untukmu di setiap akhir sholatku. Terimakasih, Ayah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar