Minggu, 27 Desember 2015

Terimakasih, Ayah

2 Mei 1996, terlahir seorang perempuan di rumah seorang bidan di daerah Tulangan yang biasa dipanggil dengan Bu Nunik. 2 hari sebelumnya, seorang laki-laki tinggi kurus meminta istrinya untuk segera ke Bu Nunik untuk check up ketika akan melahirkan. Dalam wajahnya yang memiliki kumis dan hidung mancung tersebut terlihat raut kekhawatirannya. Tidak tahu harus berbuat apa, akhirnya beliau meminjam sepeda motor milik saudaranya untuk mengantar sang istri menuju persalinan. 10 menit kemudian sampailah beliau dengan istrinya dalam rumah Bu Nunik. Menunggu hingga hampir 2 hari lamanya akhirnya hari kamis, 2 Mei 1996 pukul 04.30 WIB terdengar suara jeritan kesakitan seorang ibu yang kemudian disusul oleh tangisan keras seorang bayi perempuan. Wajah pertama yang terlihat oleh bayi adalah tangisan seorang yang tulus hatinya mengandung selama hampir 9 bulan. Yang kemudian memeluk bayi itu dengan erat. Ya, itulah ibuku, namanya ibu Siyami. Kemudian ada laki-laki tinggi kurus masuk dan menggendongku, itulah ayah terhebatku, ayah Sumali.
Beberapa jam setelah persalinan, ayah dan ibu menggendongku untuk pulang ke rumah. Sesuai adat, aku pun digendong oleh pemuka agama di sekitar rumahku dan diberikan nama yaitu Nur Intan Rizqi. Kemudian uang logam bertebaran di halaman untuk dibagikan kepada warga sekitar rumah dan dilanjutkan dengan pembacaan doa untukku dan pembagian makanan. Tentang nama itu, terjadi perdebatan kecil antara ibu dengan ayah. Ibu menginginkan nama Intan Nur Rizqi sedangkan ayah menginginkan nama Nur Intan Rizqi, tetapi pada akhirnya usulan dari ayahlah yang dapat diterima oleh keduanya. Tentunya dengan nama yang diberikan tersebut, ayah dan ibu berharap anaknya menjadi anak yang berharga, kuat, kokoh dan bersinar layaknya sebuah intan berlian dengan selalu bersyukur atas semua rizqi yang diberikan oleh Allah.
Masa-masa bayi adalah masa yang bahagia, karena selalu ada ayah dan ibu yang merawat dan menjadi saksi atas pertumbuhan dan perkembanganku. Mungkin terlihat sedikit berkebalikan dengan masyarakat pada umumnya, ibuku merupakan seorang pegawai di pabrik gula sedangkan ayahku adalah seorang buruh bangunan dan pekerja sawah yang tidak selalu ada setiap hari pekerjaannya dan juga anggota dari partai politik. Jadi bisa dibilang yang lebih sering merawatku adalah ayah sehingga aku pun tidak mau ketinggalan kemanapun ayah pergi.
Ayah selalu menjadi saksi tumbuh kembangku, beliau yang menguncir rambutku, memandikan aku, memberi bedak yang tebal agar aku terlihat segar setelah mandi. Menurutku, ayah mempunyai kelebihan dalam kepribadiannya. Beliau bisa menjadi ibu ketika ibuku sedang bekerja juga beliau juga menjadi seorang ayah yang bertanggung jawab untuk menafkahi keluarganya.
Intan yang saat itu masih bayi kemudian berkembang menjadi Intan yang berusia 4 tahun dan siap untuk masuk Taman Kanak-kanak. Awal pertama masuk di TK, aku dititipkan oleh ayah dan ibuku kepada tetanggaku yang juga masih ada hubungan saudara. Anaknya hampir seumuran denganku, hanya saja beda dalam bulan kelahiran. Namanya Eny, sejak saat itu dialah teman pertamaku di TK. Ayah dan ibu menitipkan aku karena mereka berdua sedang ada pekerjaan. Oleh karenanya, hari pertama sekolah di TK merupakan hari yang kurang menyenangkan karena tidak ditemani oleh orang tua.
Saat itu, hari pertama sekolah di TK, aku duduk di bangku kecil paling belakang dengan berseragam berwarna biru. Ada kejadian lucu saat itu. Aku yang mendengarkan teman-teman memperkenalkan diri di depan kelas tiba-tiba ingin buang air kecil. Karena merupakan hari pertama di kelas jadi aku masih takut untuk berkenalan dengan teman maupun berbicara dengan guru kelas. Akhirnya dengan wajah menahan, aku pun buang air kecil di dalam kelas tersebut. Sontak semua teman baruku mencium bau yang tidak enak dan kemudian melihatku dengan menutup hidung mereka masing-masing. Aku kebingungan, tanpa pikir panjang air mataku keluar dan aku menangis tersedu-sedu sambil diantar oleh guruku ke kamar mandi.
Semenjak saat itu, aku dikenal sebagi anak yang cengeng. Namun cengengku ini bukan seperti temanku yang lain ketika tidak dibelikan mainan maka dia akan menangis. Cengengku ini yakni ketika aku tidak mendapatkan nilai baik di kelas dan ketika mendapatkan nilai yang jelek di kelas. Mungkin hal ini karena ada tekanan dari orang tua, aku dituntut untuk mendapatkan nilai bagus setiap hari.
Hampir 2 tahun lamanya aku belajar di TK, tepatnya TK Dharma Wanita Singopadu. Selama itu juga aku jarang diantar oleh ibu dan ayahku ketika berangkat sekolah. Sangat jarang sekali. Suatu ketika, ayah pinjam sepeda dari bu lek untuk menjemputku pulang sekolah. Saat itu ayah menungguku di seberang jalan raya dan aku baru keluar dari kelas kemudian menuju seberang jalan untuk menemui ayah. Dengan lambaian tangan dan senyumannya ayah memanggilku dengan tetap menaiki sepeda. Aku berlari kegirangan karena memang di rumah kami tidak mempunyai sepeda dan ayah menmyempatkan diri untuk meminjam sepeda untuk menjemputku. Karena saking senangnya aku menyeberang jalan tanpa menoleh kanan-kiri, tiba-tiba braakkkkk!!!. Aku tidak sadarkan diri, entah dibawa kemanakah aku ini. Aku mendengar suara tangisan ibuku, tapi aku tidak bisa melihat dengan jelas apa yang telah aku alami. Ada darah di wajahku, dan itu sangat perih.
Beberapa hari kemudian aku berada dalam kamar sendirian. Tiba-tiba datang 2 orang laki-laki.
“Assalamualaikum...”
“Waalaikumsalam.... maaf siapa ya?” tanya ayahku.
“Saya yang menabrak putri bapak kemarin di TK itu loh pak.”
“Oh iya saya ingat pak, silahkan masuk pak.”
Keduanya saling diam, kemudian ibuku menyusul ke ruang tamu dengan membawa teh untuk disajikan. Aku pun ikut ke ruang tamu.
“Saya mohon maaf pak atas kecelakaan itu, kami benar-benar tidak sengaja.”
“Oh itu, tidak apa-apa pak. Anak saya juga baik-baik saja kok sekarang. Itu juga bukan kesalahan bapak semuanya. Anak saya juga tidak menoleh kanan-kiri dan saya juga tidak menyeberangkan anak saya.” Jawab ayah dengan santai.
“Iya pak. Ini ada sedikit bantuan atas permintaan maaf kami.”
Orang itu memberikan aku sebuah boneka donald duck dan beberapa lembar uang. Dan ayah juga ibuku menerimanya sehingga terjadi perdamaian antar keduanya.
Beberapa hari kemuadian aku ada foto untuk raport dan ijazah TK. Sebenarnya kondisiku masih belum pulih benar. Namun dukungan ayah membuatku untuk semangat dalam belajar. Pagi hari ayah membangunkanku dan mendandaniku agar anaknya terlihat cantik di ijazah nanti. Dengan bekas luka yang lebar di bawah pelipis mata ayah dengan sabar mendandaniku. Rambutku dikuncir dua sebelah kanan dan kiri dan diberi pita yang berbeda warna pula. Sebelah kanan pita berwarna hijau dan sebelah kiri pita berwarna merah. Terlihat aneh memang, tapi itulah yang membuatku menjadi semangat.
Dengan diterimanya ijazah dengan foto unik itu, aku didaftarkan oleh ayahku di SD dekat dengan rumah. SDN Singopadu namanya. 6 tahun akan kulalui jenjang pendidikan formal dasar di sekolah tersebut. Sama halnya dengan di TK, ayah dan ibuku jarang sekali, bahkan hampir tidak pernah mengantarku ke sekolah. Aku mulai berpikir, apakah mereka tidak memperdulikan sekolahku? Tapi lambat laun aku mulai sadar bahwa mereka tidak mengantarku karena mereka bekerja dan hasil dari pekerjaan itu untuk sekolahku dan kehidupan keluargaku sehari-hari. Semangat kesadaran itulah yang membuatku dapat mendapat peringkat 3 besar di dalam kelas dari mulai kelas 1 SD sampai dengan kelas 6 SD.
Awal masuk kelas 1 SD, wali kelasku namanya Bu Rid menyuruhku untuk maju ke depan dan membaca kalimat yang ada di papan tulis.
“Intan...ayo ke depan! Baca tulisan di papan itu!”. Dengan langkah pasti aku maju ke depan.
“A-ni mem-ba-ca bu-ku ma-te-ma-ti-ka”
“loh sudah lancar membaca! Di rumah diajari sama siapa?”
“Diajari sama ayah bu.”
Memang, ayah lah yang mengajariku tentang pembelajaran di SD. Mungkin ini karena faktor jenjang pendidikan yang ditempuh oleh ayahku juga. Ayahku lulusan dari SMA yang pada saat itu di mata orang merupakan lulusan yang cukup tinggi. Sedangkan ibuku hanya lulusan SD dan tidak bisa meneruskan ke jenjang SMP karena harus bekerja.
Kemanapun ayah pergi, aku selalu berada di sampingnya. Bahkan orang sekitar rumah bilang kalau aku terikat sama ayah. Banyak kenangan yang kulalui bersama ayah. Pernah saat itu, ayah bertengkar dengan ibu karena suatu hal. Aku yang masih duduk di bangku SD hanya bisa mendengar. Tetapi kemudian pertengkaran itu semakin keras, dan aku pun menjerit karena ketakutan. Dengan belaiannya, ayah menggendongku dan bilang bahwa semuanya baik-baik saja. Ibuku menangis kemudian ayahku menemui ibuku dan meminta maaf sambil menggendongku.
Hingga akhirnya saat aku mulai menginjak kelas 3 SD. Saat itu ayah mulai sakit-sakitan. Awal mulanya, ketika ayah sedang bekerja di sawah tiba-tiba ayah mengalami mimisan. Hal itu dianggap biasa oleh ayah, pikirnya itu hanya mimisan karena terlalu capek dan kepanasan saat di sawah. Tetapi beberapa bulan kemudian darah itu keluar terus menerus. Tidak hanya melalui hidung, tetapi juga melalui tenggorokan.
Dengan bantuan saudara-saudaranya, ayah diantar ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan. Ternyata hasilnya, ayah menderita kanker THT (telinga, hidung, tenggorokan). Entah sudah sampai seganas apakah kanker itu menyerang ayah. Yang aku tahu, hampir setiap hari ayah mimisan dan muntah darah.
Hampir setiap minggu, aku dan ibuku diajak ayah untuk periksa keadaannya di dokter THT dekat Ramayana. Ibuku yang takut dengan bau medis memilih untuk menunggu di luar dengaku. Namun, sepertinya kanker itu sudah menyebar luas di tubuh ayah. Hingga akhirnya dokter itu memberi rujukan kepada ayah dan keluargaku untuk berobat di rumah sakit Dr. Soetomo Surabaya yang lebih kita kenal dengan rumah sakit Karamenjangan.
Aku tidak diperbolehkan untuk ikut di rumah sakit karamenjangan tersebut. Ayah dan ibuku menitipkanku di rumah bu lek. Dan untuk kesekian kalinya, aku merasa jauh dari orang tua lagi. Di rumah sakit tersebut, untuk pengobatan ayah harus dilakukan kemotheraphy. Tapi entah kenapa pada saat itu rumah sakit karamenjangan tersebut sedang tidak menerima pasien untuk kemotheraphy. Keluargaku pun bingung harus melakukan apa. Kemudian ada rekomendasi untuk melakukan kemotheraphy di rumah sakit Dr. Karyadi Semarang. Keluargaku pun berunding tentang rekomendasi tersebut, dan hasil keputusannya ayah akan dibawa ke Semarang untuk di kemotheraphy.
Hari keberangkatan ayah menuju Semarang pun tiba, aku menangis. Karena sama seperti sebelumnya, aku jauh dari orang tuaku lagi. Ibuku pun ikut dengan ayah ke Semarang dan aku dititipkan lagi di rumah bu lek ku. Kali ini cukup lama ayah dan ibuku meninggalkanku sendirian, 1 bulan waktu untuk menjalani kemotheraphy.
Entah kenapa setiap pagi aku menangis. Aku merasa tidak nyaman dengan kondisi seperti itu. Aku ingin tinggal serumah lagi dengan ayah dan ibu. Aku ingin selalu dengan ayah ketika kemanapun ayah melangkah pergi. Setiap kali ayah dan ibu menelepon, rasanya tidak ingin mendengarkan kepadanya suara tangisanku, tapi aku tidak bisa. Ayah tau ketika aku menangis, ayah tau ketika aku sedang senang. Tapi ketika berada dalam telepon, suara tangisan itu selalu terdengar oleh ayah. Apalagi ketika ayah bertanya dengan suara terbatah-batah,
“Intan betah kan disana? Ayah kangen sama intan. Doakan ayah cepat sembuh ya nak...” mendengar hal itu ingin ku teriakkan,
“Ayah, intan ingin ayah sama ibu pulang. Intan ingin ayah sama ibu disini, intan gak mau lagi ditinggal. Aku kangen sama ayah. Kangen sekali. Pasti ayah, Intan pasti doakan ayah cepat sembuh.”
Tapi aku hanya mengatakan,
“iya ayah, ayah baik-baik ya disana. Intan juga kangen ayah. Tenang ayah, ayah pasti sembuh.”
Sampai suatu hari, liburan sekolah pun tiba. Aku diajak keluargaku untuk pergi ke Semarang untuk menjenguk ayah. Perjalanannya sangat jauh, hampir seharian kita di jalan. Kemudian sampailah kami di tempat kos yang ditempati oleh ayah. Ayah tinggal hanya seukuran 2 x 3 meter saja. Dan di tempat kos itu merupakan tempat orang-orang yang hampir sama dengan ayah, mereka sedang menjalani kemotheraphy. Ternyata masih banyak orang-orang yang seperti ayah, bahkan lebih parah dari ayah. Mungkin karena itulah ketika aku datang ayah terlihat sangat tegar. Wajahnya menghitam, mungkin karena efek dari paparan sinar dari kemotheraphy. Tubuhnya masih kurus dan tinggi. Aku tidak tega melihatnya, tapi ayah memelukku erat ketika aku datang. Di kos yang hanya sepetak itu ayah tidur siang dengan kutemani disampingnya. Setelah itu, ayah sudah ada jadwal untuk ke rumah sakit. Aku ingin ikut, tapi tidak diperbolehkan.
Tidak sampai satu hari penuh aku berada di kos itu. Maklumlah, aku dan keluargaku harus tidur dimana jika harus bermalam disitu. Akhirnya kami memutuskan untuk pulang. Aku berpamitan kepada ayah dan ibu, mereka memelukku. Ingin rasanya aku tidak melepaskan dan tetap berada dalam kos itu. Tapi itu tidak mungkin. Aku harus kembali ke rumah bu lek dan melanjutkan sekolahku.
Hampir 1 bulan sudah ayah dan ibu berada di Semarang. Mereka akan pulang dalam beberapa hari lagi. Wajah sumringahku mulai terlihat. Aku akan serumah lagi dengan ayah dan ibu. Sampai akhirnya hari kepulangan itu tiba, ibu membawa tas yang cukup besar dengan wajah yang penuh senyum namun terlihat kecapekan. Ayah juga datang dengan wajah senyum yang mengisyaratkan bahwa beliau sudah sehat dan sembuh total.
Setelah beradanya ayah di dalam rumah, kami pun sering berpergian untuk liburan. Yang paling berkesan yaitu ketika malam tahun baru. Sebenarnya ayah disuruh untuk istirahat total setelah kemotheraphy tersebut. Tapi ayah membangkang. Aku yang duduk di bangku kelas 5 SD saat itu belum paham tentang hal itu. Malam itu, aku diajak oleh ayah dan ibu untuk pergi GOR Sidoarjo. Disana ada perayaan tahun baru yang memang setiap pergantian tahun selalu ada. Dengan duduk di atas sepeda motor ibu menggendongku, ayah berada di depanku. Ketika kembang api mulai bermunculan, ayah menciumku dan berkata,
“Nanti jangan jadi anak yang nakal ya....”
Aku hanya bisa terdiam dan melihat kembang api yang bermunculan satu persatu. Tidak tahu harus berkata apa, sepertinya aku ingin menangis saat itu.
Beberapa bulan kemudian, penyakit ganas itu mulai menyerang ayah. Ternyata penyakit itu tidak hilang betul sampai akarnya. Penyakit itu tumbuh, menyerang, dan mulai menggerogoti tubuh kurus tinggi ayah. Mimisan dan darah yang keluar dari tenggorokan itu mulai muncul lagi. Ayah terlihat pucat pasi, tubuhnya lunglai. Kami kehabisan uang untuk menjalani pengobatan ayah di rumah sakit karamenjangan. Ayah pun juga tidak mau lagi dibawa ke rumah sakit. Beliau memilih untuk berobat di rumah dan mendatangkan dokter untuk ke rumah.
Semakin minggu ke minggu, kanker itu tidak mengenal tubuh seseorang. Kanker itu terus menggerogoti ayah hingga ayah tidak bisa untuk bangun lagi. Hanya tidur di kamar, untuk buang air besar harus dengan bantuan orang. Begitu juga dengan buang air kecil, ayah menggunakan selang dan ada kantong tempat untuk air seninya. Benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa. Ayah tidak berbicara, tidak merasakan jika ingin buang air besar ataupun kecil, harus disuap ketika akan makan, dan harus di infus juga untuk menambah suplai makanannya.
Bahkan ayah juga tidak bisa berbicara denganku lagi. Aku takut, setiap sholat yang kudirikan selalu ada doa untuk kesembuhan ayah. Dokter yang menanganinya pun tidak tahu lagi harus berbuat apa. Seakan-akan yang bisa bergerak hanya kelopak matanya yang tertutup ketika tertidur dan terbuka ketika terbangun.
2 Mei 2007, 11 tahun sudah umurku. Aku berbisik di telinga ayah,
“Ayah, hari ini aku ulang tahun. Ayah tidak mau mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku? Ayo ayah, ayah pasti sembuh. Intan berdoa di umur 11 tahun ini ayah bisa sembuh dan main-main lagi denganku ayah.”
2 hari kemudian, 4 Mei 2007. Saat itu hari jum’at dan merupakan jadwalku untuk pergi ke sekolah mengikuti ekstrakurikuler pramuka. Tetapi ibu ku menyuruh untuk tidak berangkat dan berada di rumah saja. Saat itu merupakan saat dimana orang laki-laki untuk berangkat shalat jum’at. Kakakku tidak ikut, dia berada di samping ayah.
Entah mengapa, tiba-tiba bu lek menyuruhku untuk berganti pakaian dan membacakan surah Yasiin untuk ayah. Perintah itu kuturuti, setelah berganti pakaian aku duduk di bawah dan membacakan surah Yasiin. Baru mendapatkan 3 ayat tiba-tiba kakakku memanggil bu lek,
“Lek...... ayah sudah tidak ada.”
“Innalillahi.........” bu lek ku berteriak memanggil ibu.
“mbak, mas sudah meninggal.”
Ibuku menangis histeris. Beliau hanya tersungkur duduk lemas dengan menjerit memanggil nama ayah. Kemudian aku yang saat itu terkejut menagis histeris,
“Ayaaaaah.....”
“Ayah jangan tinggalkan Intan ayah, siapa nanti yang menguncir rambutku? Siapa nanti yang mengajariku? Siapa yang merawatku?”
Hanya tangisan yang keluar, tubuh ayah sudah terbujur kaku. Dan untuk selamanya, aku ditinggal oleh ayahku. Bukan untuk beberapa hari atau beberapa bulan, tetapi selamanya. Tidak akan ada sama sekali laki-laki bertubuh kurus tinggi yang akan menjemputku dari sekolah. Tidak ada lagi ayah yang juga menjadi sosok ibu bagiku. Yang memberikan pita berbeda warna pada kuncir rambutku.
Selamanya, ayah tetap akan menjadi laki-laki nomer satu dalam hidupku. Laki-laki yang hisa menjadi sosok ibu juga. Laki-laki yang membuatku mengerti akan kasih sayang seorang ayah. Dan semenjak itu, aku akan rindu dengan belai kasih sayang seorang ayah. Rindu dengan selau berada di sampingnya, rindu dengan pembelaan beliau terhadapku ketika dimarahi oleh ibu.
Ayah, sekarang aku sudah tumbuh dewasa. Terimakasih atas pembelajaran kehidupan yang pernah ayah berikan. Meskipun hanya 11 tahun. Terimakasih atas perhatian, kasih sayang, dan pembelaan terhadapku meskipun aku terkadang nakal. Meskipun aku terkadang rindu dengan ayah, tapi aku hanya bisa memberikan sepatah doa untukmu di setiap akhir sholatku. Terimakasih, Ayah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar